Total Pageviews

Powered By Blogger

Popular Posts

Blog Archive

Thursday, 15 September 2011

Perjanjian yang Terkhianati: Green Hilton Agreement, 14 November 1963


14 november 1963, Bung Karno dan Presiden Kennedy menandatangi perjanjian yang sangat dikenang oleh dunia International, “ Green Hilton Agremeent”, lebih 47 tahun yang lalu. Ini adalah adalah bentuk perjanjian penyerahan emas sebanyak 48.000 “ Empat puluh delapan ribu" ton emas kepada America untuk menyelamatkan perekonomian dunia dari ambang kehancuran dan untuk mencegah terjadinya perang dunia ke-3. Jumlah yang fantastis, jika 1 kg emas dihargai USD 43989 (link http://www.goldprice.org/gold-price-per-kilo.html) maka total nilainya adalah USD 2111.472 milyar.

Pada tanggal 14 Nopember 2010 lalu, G20 bertemu untuk membahas permasalahan ekonomi dunia dan beberapa minggu sebelumnya Amerika mengucurkan dana perbaikan ekonominya sebanyak USD 600 milliar yang berarti menggunakan cadangan emas sekitar dua puluh delapan persen dari jumlah yang pernah ditandatangani antara Soekarno dengan Kennedy, alias 15348 ton emas.

Tulisan ini sekedar mengingatkan bahwa perjanjian tersebut sangat berarti bagi dunia dan khusunya bagi rakyat Indonesia. Di dalam perjanjian juga dicantumkan bahwa Soekarno mendapat hak sekitar 2 persen bunga pertahun dalam bentuk obligasi atas jasa diplomasi beliau mengumpulkan emas Nusantara yang kemudian disebut Soekarno sebagai dana Revolusi, . Setelah 47 tahun berlalu, berarti total bunga yang menjadi hak Soekarno sekitar USD 1900 milyar, nilai yang begitu fantastis (http://ayemmo.wordpress.com/2010/04/29/the-green-hilton-agreement-geneva-1963/).

Perjanjian ini seolah dilupakan Amerika, tetapi dunia tidak pernah melupakanya seperti yang sudah di ikrarkan dalam Perjanjian Bangkok yang dikenal dengan, “Recognizing the Rights” Treaty, Bangkok, Thailand, dated 2003”.


Sampai sekarang hak Bung Karno tersebut tidak jelas rimbanya, keluarga Soekarno juga tidak memiliki document untuk mencairkan dana tersebut, terlebih lagi Kennedy mati terbunuh 10 hari setelah perjanjian tersebut ditandatangani. Menurut hukum Swiss (tempat perjanjian tersebut ditandatangi) maka yang berhak mencairkan dana tersebut adalah Soekarno dan keturunanya (karena bentuk obligasi yang dikuasakan kepada keturunananya), namun Soekarno tidak pernah menitipkan document tersebut kepada keturunanya, melainkan ke Negara Indonesia yang konon masih dirahasikaan guru spiritual Bung Karno. Jika dana tersebutkan dicairkan, maka semua hutang Indonesia tidak ada artinya, alias terbayar lunas!. Namun ingat, itu bunga obligasi adalah hak Bung Karno dan keturunanya, namun kebaikan Soekarno lah yang mengingkan itu menjadi milik Indonesia, lihatlah dengan jelas bahwa kecintaan Soekarno untuk Indonesia begitu besar.

In 1963 the gold that had been entrusted to the care of Soekarno




By 1961, Keynes predictions of a world monetary crisis began to become a reality. This problem was brought about by the lack of sufficient currency (especially US Dollars) in world circulation to support the rapidly expanding international commerce. The World needed US Dollars beyond the capacity of the good faith and credit of the United States Taxpayer in order to facilitate trade. It was not possible to break the Bretton Woods treaty due to the possible damage of the stable core of the world’s economy as this had the potential of leading to another major war. To compound the problem, the majority of dollars in circulation were in private banks, multinational corporations, private businesses and individual bank accounts.

In 1963 the gold that had been entrusted to the care of President Soekarno was recalled by the Nations to underpin the issuance of further US Dollars in order to further facilitate international trade. Under this Agreement, Soekarno (as the International Trustee Holder of the Gold) began the process of repositioning the gold that had earlier been entrusted to the care of the Indonesian People, back into the banking system to create a fractional backing for the US Dollar. Initially this was managed under the arbitration of the Tripartite Gold Commission in The Hague as per the decisions of the International Community through their Government representatives at the Innsbruck/Schweitze r Conference and its later revisions. Under the agreement signed between President Soekarno and President John Kennedy, was that control of these assets would cede automatically to US upon the fall from power of President Soekarno. This occurred in 1967. The potential of this agreement led to Executive Order 11110 issued July 1963
, which would have provided the Department of the Treasury the power to issue United States Dollars. Within two weeks after signing the Green Hilton Agreement which would have then enabled consolidation of EO 11110. Kennedy was assassinated a few days after his signing of the Green Hilton Agreement. With the death of Kennedy, the authority granted to the Treasury was never taken up.

Soekarno was awarded a 2.5% interest in the assets by the International Community in return for his services. He willed all the documents of guarantee and obligation to his Teacher ***** ***** ******** and his heir,
** **** *** ********.

To this day, these agreements stand to be honoured (which was accommodated in full under the “RESPECTING THE RIGHTS TREATY (BANGKOK) 2003). The assets were placed into the International Collateral Combined Accounts that form the Global Debt Facility.

While an apparently innocuous document to read, in it’s proper and full interpretation, The Green Hilton Agreement is one of the most profound agreements made between Presidents of any two countries within the twentieth century, and most probably, in the history of the world, particularly so as this agreement was made between a President of the United States and the Trustee of the hidden, but combined wealth of the world. These assets are not the property of the United States, but centralized assets under the authority of a centralized system, to be used as independently deemed to be for the better benefit of the World.

SUMBER:


G20 DAN PENCURIAN HARTA RAKYAT INDONESIA


“Considering this statement, which was written and signed in Novemver, 21th 1963 while the new certificate was valid in 1965 all the ownership, then the following total volumes were just obtained.”

Itulah sepenggal kalimat yang menjadi berkah sekaligus kutukan bagi bangsa Indonesia hingga kini. Kalimat itu menjadi kalimat penting dalam perjanjian antara Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy dengan Soekarno pada 1963.


Soekarno dan John F. Kennedy

Banyak pengamat Amerika melihat perjanjian yang kini dikenal dengan nama “The Green Hilton Agreement” itu sebagai sebuah kesalahan bangsa Amerika. Tetapi bagi Indonesia, itulah sebuah kemenangan besar yang diperjuangkan Bung Karno. Sebab volume batangan emas tertera dalam lembaran perjanjian itu terdiri dari 17 paket sebanyak 57.150 ton lebih emas murni.

Bahasa lain yang sering dikemukakan Bung Karno kepada rekan terdekatnya, bahwa ia ingin harta nenek moyang yang telah dirampas oleh imprealisme dan kolonialisme dulu bisa kembali. Tetapi perjanjian yang diteken itu, hanya sebatas pengakuan dan mengabaikan pengembaliannya. Sebab Negeri Paman Sam itu mengambilnya sebagai harta pampasan perang dunia I dan II. Konon cerita, harta itu dibawa ke Belanda dari Indonesia, kemudian Belanda kalah perang dengan Jerman, maka Jerman memboyong harta itu ke negaranya. Lalu dalam perang dunia kedua, Jerman kalah dengan Amerika, maka Amerika membawa semua harta itu ke negaranya hingga kini.

Perjanjian itu berkop surat Burung Garuda bertinta emas di bagian atasnya yang kemudian menjadi pertanyaan besar pengamat Amerika. Yang ikut serta menekan dalam perjanjian itu tertera John F. Kennedy selaku Presiden Amerika Serikat dan William Vouker yang berstempel “The President of The United State of America” dan dibagian bawahnya tertera tandatangan Soerkarno dan Soewarno berstempel “Switzerland of Suisse.” Yang menjadi pertanyaan kita bersama adalah, mengapa Soekarno tidak menggunakan stempel RI. Pertanyaan itu sempat terjawab, bahwa beliau khawatir harta itu akan dicairkan oleh pemimpin Indonesia yang korup, kelak.

Perjanjian yang oleh dunia moneter dipandang sebagai pondasi kolateral ekonomi dunia hingga kini, menjadi perdebatan panjang yang tak kunjung selesai pada kedua negara, Indonesia dan Amerika. Banyak para tetua dan kini juga anak muda Indonesia dengan bangganya menceritakan bahwa Amerika kaya karena dijamin harta rakyat Indonesia. Bahkan ada yang mengatakan, Amerika berhutang banyak pada rakyat Indonesia, karena harta itu bukan punya pemerintah dan bukan punya negara Indonesia, melainkan harta rakyat Indonesia. Tetapi, bagi bangsa Amerika, perjanjian kolateral ini dipandang sebagai sebuah kesalahan besar sejarah Amerika.


The Green Hilton Agreement 1963.

Barangkali ini pulalah penyebab, mengapa Bung Karno kemudian dihabisi karir politiknya oleh Amerika sebelum berlakunya masa jatuh tempo The Green Hiltom Agreement. Ini berkaitan erat dengan kegiatan utama Soeharto ketika menjadi Presiden RI ke-2. Dengan dalih sebagai dalang PKI, banyak orang terdekat Bung Karno dipenjarakan tanpa pengadilan seperti Soebandrio dan lainnya. Menurut tutur mereka kepada pers, ia dipaksa untuk menceritakan bagaimana ceritanya Bung Karno menyimpan harta nenek moyang di luar negeri. Yang terlacak kemudian hanya “Dana Revolusi” yang nilainya tidak seberapa. Tetapi kekayaan yang menjadi dasar perjanjian The Green Hilton Agreement ini hampir tidak terlacak oleh Soeharto, karena kedua peneken perjanjian sudah tiada.

Kendati perjanjian itu mengabaikan pengembaliannya, namun Bung Karno mendapatkan pengakuan bahwa status koloteral tersebut bersifat sewa (leasing). Biaya yang ditetapkan Bung Karno dalam perjanjian sebesar 2,5% setahun bagi siapa atau bagi negara mana saja yang menggunakannya. Dana pembayaran sewa kolateral ini dibayarkan pada sebuah account khusus atas nama The Heritage Foundation yang pencairannya hanya boleh dilakukan oleh Bung Karno sendiri atas restu yang dimuliakan Sri Paus Vatikan. Namun karena Bung Karno “sudah tiada” (wallahuallam), maka yang ditunggu adalah orang yang diberi kewenangan olehnya. Namun sayangnya, ia hanya pernah memberikan kewenangan pada satu orang saja di dunia dengan ciri-ciri tertentu. Dan inilah yang oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, bahwa yang dimaksudkan adalah Satria Piningit yang kemudian disakralkan, utamanya oleh masyarakat Jawa. Tetapi kebenaran akan hal ini masih perlu penelitian lebih jauh.

April 2009, dana yang tertampung dalam The Heritage Foundation sudah tidak terhitung nilainya. Jika biaya sewa 2.5% ditetapkan dari total jumlah batangan emasnya 57.150 ton, maka selama 34 tahun hasil biaya sewanya saja sudah setera 48.577 ton emas. Artinya kekayaan itu sudah menjadi dua kali libat lebih, dalam kurun kurang dari setengah abad atau setara dengan USD 3,2 Trilyun atau Rp 31.718 Trilyun, jika harga 1 gram emas Rp 300 ribu. Hasil lacakan terakhir, dana yang tertampung dalam rekening khusus itu jauh lebih besar dari itu. Sebab rekening khusus itu tidak dapat tersentuh oleh otoritas keuangan dunia manapun, termasuk pajak. Karenanya banyak orang-orang kaya dunia menitipkan kekayaannya pada account khusus ini. Tercatat mereka seperti Donald Trump, pengusaha sukses properti Amerika, Raja Maroko, Raja Yordania, Turki, termasuk beberapa pengusaha besar dunia lainnya seperti Adnan Kassogi dan Goerge Soros. Bahkan Soros hampir menghabiskan setengah dari kekayaannya untuk mencairkan rekening khusus ini sebelumnya.

Pihak Turki malah pernah meloby beberapa orang Indonesia untuk dapat membantu mencairkan dana mereka di pada account ini, tetapi tidak berhasil. Para pengusaha kaya dari organisasi Yahudi malah pernah berkeliling Jawa jelang akhir 2008 lalu, untuk mencari siapa yang diberi mandat oleh Bung Karno terhadap account khusus itu. Para tetua ini diberi batas waktu oleh rekan-rekan mereka untuk mencairkan uang tersebut paling lambat Desember 2008. Namun tidak berhasil.

Usaha pencairan rekening khusus ini bukan kali ini saja, tahun 1998 menurut investigasi yang dilakukan, pernah dicoba juga tidak berhasil. Argumentasi yang diajukan tidak cukup kuat. Dan kini puluh orang dan ratusan orang dalam dan luar negeri mengaku sebagai pihak yang mendapat mandat tersebut. Ada yang usia muda dan ada yang tua. Hebatnya lagi, cerita mereka sama. Bahwa mereka mengaku penguasa aset rakyat Indonesia, dan selalu bercerita kepada lawan bicaranya bahwa dunia ini kecil dan dapat mereka atur dengan kekayaan yang ia terima. Ada yang mengaku anak Soekarno. lebih parah lagi, ada yang mengaku Soekarno sunggguhan tetapi kini telah berubah menjadi muda. Wow.

Padahal, hasil penelusuran penulis. Bung Karno tidak pernah memberikan mandat kepada siapapun. Dan setelah tahun 1965, Bung Karno ternyata tidak pernah menerbitkan dokumen-dokumen atas nama sipulan pun. Sebab setelah 1963 itu, owner harta rakyat Indonesia menjadi tunggal, ialah Bung Karno itu sendiri. Namun sayang, CUSIP Number (nomor register World Bank) atas kolateral ini bocor. Nah, CUSIP inilah yang kemudian dimanfaatkan kalangan banker papan atas dunia untuk menerbitkan surat-surat berharga atas nama orang Indonesia. Pokoknya siapapun, asal orang Indonesia berpassport Indonesia dapat dibuatkan surat berharga dari UBS, HSBC dan bank besar dunia lainnya. Biasanya terdiri dari 12 lembar, diantaranya ada yang berbentuk Proof of Fund, SBLC, Bank Guransi, dan lainnya. Nilainya pun pantastis. rata-rata diatas USD 500 juta. Bahkan ada yang bernilai USD 100 milyar.

Ketika dokumen tersebut dicek, maka kebiasaan kalangan perbankkan akan mengecek CUSIP Number. Jika memang berbunyi, maka dokumen tersebut dapat menjalani proses lebih lanjut. Biasanya kalangan perbankkan akan memberikan bank Officer khusus bagi surat berharga berformat ini dengan cara memasan Window Time untuk sekedar berbicara sesama bank officer jika dokumen tersebut akan ditransaksikan. Biasanya dokumen jenis ini hanya bisa dijaminkan atau lazim dibuatkan rooling program atau privcate placement yang bertempo waktu transaksi hingga 10 bulan dengan high yeild berkisar antara 100 s/d 600 % setahun. Uangnya hanya bisa dicairkan untuk proyek kemanusiaan. Makanya, ketika terjadi musibah tsunami di Aceh dan gempa besar lainnya di Indonesia, maka jenis dokumen ini beterbangan sejagat raya bank. Tapi anehnya, setiap orang Indonesia yang merasa nama tercantum dalam dokumen itu, masih miskin saja hingga kini. Mengapa? Karena memang hanya permainan banker kelas kakap untuk mengakali bagaimana caranya mencairkan aset yang terdapat dalam rekening khusus itu.

Melihat kasus ini, tak heran bila banyak pejabat Indonesia termasuk media massa Indonesia menyebut “orang gila” apabila ada seseorang yang mengaku punya harta banyak, milyaran dollar Amerika Serikat. Dan itulah pula berita yang banya menghiasi media massa. Ketidakpercayaan ini satu sisi menguntungkan bagi keberadaan harta yang ada pada account khusus ini, sisi lain akan membawa bahaya seperti yang sekarang terjadi. Yakni, tidak ada pembelaan rakyat, negara dan pemerintah Indonesia ketika harta ini benar-benar ada.

Kasih sedih itu terjadi. Presiden SBY ikut serta dalam pertemuan G20 April silam. Karena Presiden SBY tidak pernah percaya, atau mungkin ada hal lain yang kita belum tau, maka SBY ikut serta menandatangani rekomendasi G20. Padahal tekenan SBY dalam sebuah memorandum G20 di London itu telah diperalat oleh otoritas keuangan dunia untuk menghapuskan status harta dan kekayaan rakyat Indonesia yang diperjuangkan Bung Karno melalui kecanggihan diplomatik. Mengapa, karena isi memorandum itu adalah seakan memberikan otoritas kepada lembaga keuangan dunia seperti IMF dan World Bank untuk mencari sumber pendanaan baru bagi mengatasi keuangan global yang paling terparah dalam sejarah ummat manusia.

Atas dasar rekomendasi G20 itu, segera saja IMF dan World Bank mendesak Swiss untuk membuka 52.000 rekening di UBS yang oleh mereka disebut aset-aset bermasalah. Bahkan lembaga otoritas keuangan dunia sepakat mendesak Vatikan untuk memberikan restu bagi pencairan aset yang ada dalam The Heritage Foundation demi menyelamatkan ummat manusia. Memang, menurut sebuah sumber terpercaya, ada pertanyaan kecil dari Vatikan, apakah Indonesia juga telah menyetujui? Tentu saja, tandatangan SBY diperlihat dalam pertemuan itu. Berarti sirnalah sudah harta rakyat dan bangsa Indonesia. Barangkali inilah “dosa SBY” dan dosa kita semua yang paling besar dalam sejarah bangsa Indonesia. Sebab, bila SBY dan kita sepakat untuk paham akan hal ini, setidaknya ada geliat diplomatik tingkat tinggi untuk mencairkan aset sebesar itu. Lantas ada pertanyan; Sebodoh itukah kita? (safari ans: tulisan ini akan terus diperkaya. Conbtact; email safari_ans@yahoo.com. Sms. 0818778216)S


DUPLIKAT GREEN HILTON AGREMENT





SUMBER TERKAIT:

Labels

GlobalView

PTP